Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
Banyak daerah di Indonesia memiliki ragam cerita cerita hikayat yang menarik dan tentang sesuatu yang sama misal buaya putih. Berikut beberapa cerita hikayat yang berhubungan dengan buaya putih.
Ternyata banyak cerita rakyat yang berkembang terkait buaya putih. Antara lain cerita buaya putih di danau babakan Jakarta, Kali atau sungai Bhagasasi juga disebut Sungai Chandra Bhaga yang dibuat pada zaman kerajaan Tarumanagara juga menyimpan cerita rakyat, salah satunya legenda buaya putih Kali Bekasi dan cerita tentang penjaga situs lawang sanga dekat sungai kriya Cirebon.
Setu Babakan adalah sebuah danau buatan yang awal nya digunakan sebagai tempat resapan air , namun sekarang juga dijadikan sebagai tempat wisata bagi warga sekitar setelah diresmikan sebagai pusat pelestarian warisan Budaya Jakarta.Danau ini memiliki luas kurang lebih 30 hektar, memiliki legenda yang berkaitan dengan penampakan buaya putih oleh masyarakat setempat
Cerita buaya Putih Danau Buatan Setu Babakan.
Pada suatu ketika disebuah kampung yang berada di pinggir danau Setu Babakan hiduplah sepasang remaja yang saling mencinta, namun sayang disayang kisah percintaan mereka tak disetujui oleh orang tua si gadis, Sebab si pemuda, yang bernama Joko itu hanyalah seorang petani miskin.
Pada satu hari, Joko berkata kepada kekasih nya, “Dik Siti, Bapak engkau sangat menolak hubungan kita berdua”, Pemuda itu menjelaskan, “Mungkin karena aku hanyalah dari keluarga petani yang tak berada. Agar bapak, merestui hubungan kita, aku harus menjadi kaya, aku akan pergi merantau ke kota. Mudah-mudah nasib baik berpihak kepadaku. Dan jika kita memang berjodoh, kelak pasti kita akan dapat bersama lagi”.
“Jika memang itu keputusan Mu, pergilah”. sahut si gadis itu dengan kesedihan sambil berlinang air mata. “Tetapi jika abang sudah berhasil di rantau, lekaslah pulang”. Dengan diiringi linangan air mata, pergilah petani miskin itu mencoba peruntungan di negeri orang.
Beberapa tahun telah berlalu. Tak ada kabar berita dari pemuda itu. Siti, mulai dilanda gelisah, apalagi bapak si gadis telah menjodohkannya dengan duda kaya dari kampung sebelah. Ketika waktu pernikahannya telah kian dekat, Siti semakin gelisah. Ia terus berdo’a dan berharap agar pemuda idamannya segera kembali. Namun harapannya tinggal harapan, setahun lagi telah berlalu, setelah mencoba berbagai cara untuk menunda perkawinannya dengan Duda kaya, sang pemuda tak kunjung muncul. Akhirnya gadis itu putus asa. Ia pergi ke Danau (Setu) Babakan. Dengan perasaan hancur ia menceburkan dirinya ke sana. Para siluman penghuni danau itu menaruh belas kasihan pada gadis itu. Maka ia tak mati terbenam di danau itu, tetapi menjelma menjadi buaya putih.
Hingga kini, buaya putih itu masih setia menjaga danau itu. Kalau ada orang berbuat tak senonoh di sekitar danau, maka orang itu akan menjadi korban buaya putih Setu Babakan.
Itulah cerita legenda rakyat Jakarta tentang asal muasal adanya buaya putih di kawasan Setu Babakan yang kini telah menjadi kawasan cagar budaya masyarakat Betawi.
Referensi : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, Cerita Rakyat Betawi, 2004
Sumber : Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta
Legenda buaya putih Kali Bekasi.
Konon pada zaman dahulu kala, ada seorang jawara sakti mandraguna mempunyai ilmu silat Bhagasasi yang tinggi. Sang jawara yang juga seorang mandor itu selalu berpakaian ala khas jawara lengkap dengan goloknya tinggal di pinggir Kali Bekasi. Singkat cerita, sang jawara memiliki seorang anak gadis yang cantik jelita. Selain cantik, dia juga seorang pendekar silat yang hebat dengan andalan jurus-jurus unik sulit ditebak. Namun hingga beranjak dewasa, sang ‘Putri’ belum memiliki suami. Sebagai seorang jawara yang disegani bapak si gadis tidak mau sembarangan memilih menantu. Kemudian digelarlah " Barang siapa yang mampu mengalahkan ilmu silat anak gadisku, akan kujadikan suami bagi anakku itu". Lalu berbondong-bondong datanglah pemuda pendekar silat dari seluruh penjuru Bekasi, Depok, Bogor dan Sunda Kelapa (Jakarta), mencoba memenangkan sayembara ini. Tapi sayang tak satupun yang mampu mengalahkan sang gadis.
Tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkulit putih bersih, namun sejatinya bersisik yang tak diketahui asalnya. Mencoba mengikuti sayembara. Gerakan silatnya sangat bagus, cepat menyambar bak jurus Bajul dan sang gadis pun akhirnya dapat dikalahkan. Sang Jawara merasa gembira, akhirnya menemukan menantu yang sebanding dengan kepintaran anaknya. Sesuai janjinya mereka pun dinikahkan dengan pesta yang meriah, 7 hari 7 malam dengan menganggap bajidor, gamang kromong, ajungan.
Kini mereka menjadi suami istri, setahun kemudian mereka dikaruniai seorang bayi laki-laki. saat itulah sang suami mengaku "istriku, aku akan menceritakan siapa diriku yang sebenarnya. Aku ini adalah raja siluman buaya putih Kali Bekasi". Alangkah kaget sang istri. "Aku sengaja mencari keturunan dari manusia. Di negeriku ada raja siluman yang sangat kejam. tapi tak ada yang mampu mengalahkannya. Hanya dari keturunan manusialah yang mampu mengalahkannya". " Kini aku telah memiliki anak dari keturunan manusia, aku harus segera kembali ke alamku untuk mengalahkan raja yang kejam itu". Seketika sang suami dan anaknya berubah wujud menjadi buaya putih. Mereka berjalan menuju dasar Kali Bekasi.
Alangkah sedih hati sang istri. Setiap hari sang istri selalu datang ke tepi Kali Bekasi untuk membersihkan sampah yang ada di Kali Bekasi. Sehingga airnya terjaga bersih dan jernih. Sang istri yakin dengan Kali Bekasi yang bersih, hidup suami dan anaknya akan menjadi nyaman. Sang istri berpesan kepada anak turunannya agar selalu menjaga Kali Bekasi dan tidak mengusik ‘penghuni’ Kali Bekasi.
Situs Lawang Sanga menyimpan mitos di lingkungan masyarakat Cirebon, yakni munculnya sosok buaya putih di antara Sungai Kriyan dan situs Lawang Sanga. Masyarakat meyakini, buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan itu diyakini sebagai penjaga situs Lawang Sanga.
"Buaya putih tidak buas karena diyakini merupakan kutukan oleh Sultan," ujar juru Kunci Lawang Sanga Cirebon Suwari. Dia menceritakan buaya putih yang hidup di Sungai Kriyan merupakan jelmaan salah seorang putra dari Sultan Sepuh I Syamsudin Martawijaya.
Diketahui, anak dari Sultan Syamsudin yang dikutuk menjadi buaya putih bernama Elang Angka Wijaya. Dia menuturkan, dikutuknya Elang Angka Wijaya menjadi siluman buaya putih karena semasa di dunia dia tidak pernah patuh terhadap perintah ayahnya.
"Elang Angka Wijaya ini memiliki kebiasaan kalau makan sambil tiduran, tengkurap. Sultan selalu menasehati agar tidak seperti itu tapi kerap diabaikan. Hingga akhirnya sultan berucap anaknya kalau makan tengkurap seperti buaya. Ucapan orang dulu kan manjur," ucap ujar dia.
Sejak menjelma menjadi buaya putih, Elang Angka Wijaya hidup di lingkungan di salah satu kolam yang berada di salah satu bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon. Namun, menginjak usia dewasa, buaya putih tersebut pindah ke kawasan Sungai Kriyan.
Baca Juga : Pasar Jimat Terbesar di Dunia & Diakui Pemerintah