Karapan sapi merupakan acara khas perlombaan pacuan sapi yang berasal dari masyarakat Madura, Jawa Timur. Pulau ini bentuknya seakan mirip badan sapi, terdiri dari empat Kabupaten, yaitu : Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, dengan sejarahnya yang panjang, tercermin dari budaya dan keseniannya pengaruh islamnya yang kuat dan didiami oleh suku Madura salah satu etnis suku dengan populasi besar di Indonesia, jumlahnya sekitar 20 juta jiwa yang berasal dari pulau Madura dan pulau-pulau sekitarnya, seperti Gili Raja, Sapudi, Raas, dan Kangean.
Kerapan dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Selain sebagai ajang yang membanggakan, ia memiliki peran diberbagai bidang. Misal di bidang ekonomi, yaitu sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan, peran magis religious missalnya adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu. Terdapat seorang 'dukun' yang akan 'mengusahakan'nya. Setiap tim pasti memiliki seorang 'dukun' sebagai tim ahli untuk memenangkan perlombaan.
Di gelar pada bulan Agustus atau September, dan dilombakan lagi pada bulan September atau Oktober di Kota Karesidenan, untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden. Di bulan November tahun 2013, penyelenggaraan Piala Presiden berganti nama menjadi Piala Gubernur. Terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang di paksa untuk berlari sekencang mungkin sampai garis finis dengan menarik semacam kereta dari kayu tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain.
Trek pacuan biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan berlangsung sekitar sepuluh detik sampai satu menit.Awal mula kerapan sapi dilator belakangi oleh tanah Madura yang kurang subur untuk lahan pertanian, sebagai gantinya orang-orang Madura mengalihkan mata pencahariannya sebagai nelayan untuk daerah pesisir dan beternak sapi yang sekaligus digunakan untuk bertani khususnya dalam membajak sawah ataul adang. Suatu Ketika seorang ulama Sumenep bernama Syeh Ahmad Baidawi atau Pangeran Katandur yang memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu dengan sebutan "nanggala" atau "salaga" yang ditarik dengan dua ekor sapi.
Awal diadakannya Karapan Sapi untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak sawah, memelihara sapi dan menggarapnya sesegera mungkin. kemudian menimbulkan adanya tradisi karapan sapi. Karapan sapi menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah menjelang musim panen habis. Yang didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi musik saronen.
Pelaksanaan Karapan Sapi dibagi dalam empat babak, yaitu :
- babak pertama, seluruh sapi diadu kecepatannya dalam dua pasang untuk memisahkan kelompok menang dan kelompok kalah. Semua sapi yang menang maupun yang kalah dapat bertanding lagi sesuai dengan kelompoknya.
- Babak kedua atau, pasangan sapi pada kelompok menang akan dipertandingkan kembali, demikian sama halnya dengan sapi-sapi di kelompok kalah dan semua pasangan dari kelompok menang dan kalah tidak boleh bertanding kembali kecuali beberapa pasang sapi yang memempati kemenangan urutan teratas di masing-masing kelompok.
- Pada babak Ketiga, yang menang pada masing-masing kelompok diadu kembali untuk menentukan tiga pasang sapi pemenang dan tiga sapi dari kelompok kalah.
- Pada babak keempat, diadakan untuk menentukan juara I, II, dan III dari kelompok kala
karapansapi juga ajang pesta rakyat dan tradisi yang prestis dan bisa mengangkat status social seseorang. Bagi yang ingin mengikuti perlombaan karapan sapi, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melatih dan merawat sapi-sapi yang akan bertanding sebelumnya. tubuh sepasang sapi sehat dan kuat, dibutuhkan biaya hingga Rp 4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya dan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan.
Karapan sapi dikritik Majelis Ulama Indonesia dan pemerintah daerah di Madura karena tradisi kekerasan rekeng yang dilakukan pemiliksapi. MUI Pamekasan sudah memfatwakan haram mengenai tradisi karena dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa Timur melalui Instruksi Gubernur sudah menyatakan pelarangan tradisi rekeng. Namun tradisi ini masih berlanjut di kalangan pelaku karapan sapi.